JAKARTA (THE JAKARTA POST/ASIA NEWS NETWORK) – Proses pemilu, berfungsinya pemerintahan dan partisipasi politik adalah ukuran kunci demokrasi yang dapat dengan mudah diamati melalui pemilu.
Memang, pemilu menunjukkan kematangan demokrasi suatu negara, oleh karena itu pertanyaan apakah kita harus mendukung dorongan pemerintah untuk pilkada di tengah pandemi menjadi rumit.
Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 100 juta pemilih memenuhi syarat untuk memilih kepala daerah di 270 kota, kabupaten dan provinsi pada 9 Desember.
Pesta demokrasi akan datang setelah resesi. Produk domestik bruto negara itu mengalami kontraksi untuk kuartal kedua berturut-turut di -3,49 persen di Q3.
Dalam masa turbulensi ekonomi, pemilihan akan diadakan berdasarkan alasan yang sepenuhnya berlawanan: keberlanjutan pemerintahan publik atau memenuhi kepentingan mereka yang memiliki kekuatan politik.
Untuk memastikan keberhasilan pemilihan serentak, pemerintah telah menaikkan anggaran untuk acara tersebut sekitar Rp 5,2 triliun ($ 499 juta) untuk penerapan protokol kesehatan selama pemilihan.
Uang sebesar itu cukup untuk membangun fasilitas kesehatan untuk merawat pasien Covid-19 atau untuk kampanye publik tentang pencegahan Covid-19. Demokrasi itu mahal, tetapi haruskah itu mengorbankan nyawa warga negara, terutama selama pandemi?
Para ahli dan pengamat kebijakan telah secara kritis menilai celah yang masuk akal dalam keputusan pemerintah untuk membiarkan pertunjukan berlanjut.
Pertama, pemerintah belum mempertimbangkan mekanisme penyelenggaraan pemilu berdasarkan tingkat risiko Covid-19 daerah.
Kedua, regulasi terkait pilkada tidak mengatur sanksi atas ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan.
Ketiga, ketakutan akan kekosongan kekuasaan jika pemilu ditunda tidak berdasar karena penjabat kepala daerah dapat ditunjuk. Jika pemilihan tidak dapat dinegosiasikan, pertanyaan tentang keselamatan pemilih muncul.
Untuk meminimalkan potensi penyebaran virus selama pemungutan suara, pemerintah telah menyusun peraturan. Ini termasuk langkah-langkah kesehatan baru, seperti membatasi jumlah pemilih di setiap tempat pemungutan suara hingga maksimum 500, kehadiran pemilih yang diatur setiap jam dan jadwal yang telah ditentukan untuk memilih.
Selain itu, semua TPS akan melakukan prosedur sanitasi ekstra dan pemeriksaan suhu tubuh, menerapkan kebijakan wajib memakai masker dan mengharuskan semua petugas pemungutan suara untuk membuktikan bahwa mereka dites negatif untuk virus.
Pemerintah juga akan mengerahkan polisi dan militer untuk memastikan protokol kesehatan diterapkan.
Terlepas dari langkah-langkah pencegahan itu, masih ada pertanyaan apakah pemilihan tidak akan memperburuk penularan Covid-19, mengingat fakta bahwa beberapa daerah yang akan menjadi tuan rumah pemilihan terdaftar sebagai berisiko tinggi.
Beberapa negara yang mengadakan pemungutan suara secara langsung memang menunjukkan peningkatan jumlah kasus Covid-19 tepat setelah pemilihan, termasuk Belarus, Polandia, dan Serbia.
Lebih dari 50 negara dan wilayah, termasuk Austria, Prancis, dan Burundi, telah membatalkan atau menunda pemilihan nasional dan subnasional karena pandemi.
Negara-negara lain memutuskan untuk melanjutkan pemilihan mereka dengan beberapa syarat: 1) orang berisiko rendah karena kurva penularan Covid-19 mendatar; 2) mekanisme pemungutan suara selain pemungutan suara tatap muka sudah ada seperti pemungutan suara digital atau melalui pos; atau 3) kombinasi keduanya seperti yang terjadi di Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan.
Dengan pandemi yang masih sulit dikendalikan, Indonesia harus belajar dari negara-negara yang sukses menyelenggarakan pemilu tanpa mengorbankan nyawa pemilih.
Pertama adalah mengkategorikan wilayah berdasarkan risiko penularannya. Daerah berisiko rendah dapat melanjutkan pemungutan suara secara langsung dengan protokol kesehatan yang ketat, sementara di zona risiko tinggi dan menengah pemerintah harus mempertimbangkan e-voting atau pemungutan suara melalui surat.
E-voting sudah dicoba bahkan sebelum pandemi, dan layanan pos negara dapat menjangkau hampir seluruh bagian negara.
Amerika Serikat adalah negara terbaru yang mengadopsi pemungutan suara melalui surat. Misalkan peralatan dan mekanisme sangat cocok agar pilkada berjalan aman.
Namun, pemilih rasional dan kemungkinan mereka tidak akan muncul ke tempat pemungutan suara untuk menggunakan hak mereka.
Oleh karena itu, partisipasi pemilih yang rendah merupakan tantangan yang jelas untuk pemilihan daerah mendatang Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi sering berkorelasi dengan demokrasi yang berkembang, terutama karena pemerintah harus memastikan hak-hak rakyat dilindungi, termasuk untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan dengan aman, bahkan selama pandemi.
Pada tahun 1968, Riker melalui karyanya “A Theory of the Calculus of Voting” menyoroti hubungan antara manfaat dan biaya pemungutan suara dari sudut pandang pemilih.
Ketika biaya pemungutan suara lebih tinggi daripada manfaat yang akan diperoleh atau diprediksi pemilih dari memilih kandidat pilihan mereka, semakin rendah kemungkinan pemilih akan berpartisipasi dalam proses pemilihan.
Mengingat pentingnya mempertahankan atau meningkatkan partisipasi pemilih, mekanisme pemungutan suara non-tatap muka untuk zona risiko tinggi dan menengah adalah alternatif terbaik yang harus dipertimbangkan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Jika infrastruktur dan sumber daya tidak mencukupi untuk melakukan pemungutan suara secara langsung, e-voting dan pemungutan suara melalui pos, pemerintah harus memastikan penyelenggara pemungutan suara dan pemilih mematuhi protokol kesehatan.
Ketika semua langkah itu tidak layak, maka kita harus mempertimbangkan kembali penyelenggaraan pilkada demi keselamatan lebih dari 100 juta jiwa.
Kedua penulis adalah kandidat Master of Public Policy di London School of Economics and Political Science. The Jakarta Post adalah anggota mitra media The Straits Times, Asia News Network, aliansi 24 organisasi media berita.